Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1993)
Biografi STA
Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pengarang Indonesia yang banyak berorientasi ke dunia Barat. Dia mengatakan bahwa otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat. Walaupun banyak ditentang orang, Sutan Takdir Alisjahbana tetap dengan pendiriannya itu. Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli, Sumatra Utara, tanggal 11 Februari 1908, dan meninggal tanggal 31 Juli 1993. Jenazahnya dimakamkan di sebuah bukit di sekitar Bogor.
Sutan Takdir Alisjahbana menempuh pendidikan dasar di HIS Bengkulu. Setelah tamat dari HIS, ia melanjutkan pendidikan ke Kweekschool di Bukittinggi kemudian ia pindah ke Lahat, lalu ke Muara Enim. Setelah menamatkan pendidikan di Kweekschool, ia melanjutkan sekolahnya ke Hogere Kweekschool (HKS) Bandung tahun 1925-1928. Pendidikan yang dijalaninya di Bandung itu adalah pendidikan guru. Tahun 1931 ia mengikuti pendidikan di Hoofdacte Cursus Jakarta (sejenis pendidikan guru) dan tamat tahun 1933. Tahun 1937 ia mengikuti kuliah di Rechtshcogeschool (Sekolah Hakim Tinggi) Jakarta dan tamat tahun 1942. Di samping itu, tahun 1940 ia mengikuti kuliah di Fakultas Sastra, Universiteit van Indonesie, program studi Ilmu Bahasa Umum, Filsafat Asia Timur dan tamat tahun 1942. Tahun 1979 Sutan Takdir Alisjahbana mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas Indonesia dan tahun 1987 mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Sastra dari Universiti Sains Malaysia.
Sutan Takdir Alisjahbana mulai bekerja sebagai guru sekolah dasar (Hollandsch Inlandsche School) di Palembang, Sumatra Selatan, tahun 1928-1929. Setelah dua tahun mengajar, tahun 1930 ia pindah ke Jakarta. Dia menjabat sebagai redaktur kepala pada Penerbit Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pandji Poestaka tahun 1930-1942. Tahun 1942-1945 ia bertugas sebagai penulis ahli dan anggota Komisi Bahasa Indonesia, Jakarta. Tahun 1940-1950 ia menjabat sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia. Dalam tahun-tahun itu, ia juga menjabat Ketua Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan, kemudian ia diangkat sebagai guru dan Direktur SMA Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan. Tahun 1946-1948 ia bertugas sebagai dosen di Universitas Indonesia untuk mata kuliah Bahasa Indonesia, Sastra, dan Sejarah Kebudayaan. Setelah mendirikan Universitas Nasional, ia menjabat sebagai rektor universitas itu. Di samping itu, ia menjabat sebagai guru besar luar biasa di Akademi Luar Negeri, Jakarta, guru besar di Universitas Andalas, guru besar di Akademi Jurnalistik, guru besar di University of Malaya, Kuala Lumpur, dosen di Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan dosen di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.
Tahun 1933 Sutan Takdir Alisjahbana mendirikan dan menerbitkan majalah Poedjangga Baroe bersama-sama dengan Amir Hamzah dan Armijn Pane. Majalah ini menyuarakan pembaharuan sastra. Sutan Takdir Alisjahbana menampilkan beberapa tulisan yang berorientasi pada pendiriannya itu, yaitu pembaruan ala Barat.
Sutan Takdir Alisjahbana beragama Islam. Sampai akhir hayatnya ia telah beristri tiga kali. Tahun 1929 ia menikah dengan Raden Ajeng Rohani Daha. Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh 3 orang anak, yaitu Samiati, Iskandar, dan Sofyan. Raden Ajeng Rohani Daha meninggal dunia tahun 1935. Tahun 1941 Sutan Takdir Alisjahbana menikah dengan Raden Roro Sugiarti. Dari pernikahan itu, mereka memiliki dua orang anak, yaitu Mirta dan Sri Artaria. Raden Roro Sugiarti meninggal dunia tahun 1952 di Los Angeles. Tahun 1993 Sutan Takdir Alisjahbana menikah lagi dengan Dr. Margaret Axer di Bonn, Jerman Barat. Dari pernikahannya itu, mereka mempunyai 4 anak, yaitu Tamalia, Marita, Marga, dan Mario.
STA terkenal dengan tulisannya yang berhubungan dengan masalah bahasa, misalnya Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Modern (kumpulan karangan tentang bahasa Indonesia). Dia juga menulis masalah kebudayaan, yakni Polemik Kebudayaan (Balai Pustaka, Edisi III, 1977) dan Perkembangan Sejarah Kebudayaan Dilihat dari Jurusan Nilai-Nilai (Idayu, edisi II, 1977).
Berbagai tanggapan terhadap peran Sutan Takdir Alisjahbana dalam memajukan dan mengembangkan kesusastraan di Indonesia, antara lain dikemukakan oleh H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I (1985). H.B Jassin secara tidak langsung mengakui kedudukan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pemberi arah perkembangan kesusastraan Indonesia. Sementara itu, Pamusuk mengatakan bahwa di samping sebagai sastrawan, Sutan Takdir Alisjahbana juga dikenal sebagai pemikir, dalam hal ini pemikir kebudayaan yang kontroversial karena pemikirannya sering tidak diterima umum atau bertentangan dengan pendapat umum yang berlaku.
Karya-Karya STA:
1) Tak Putus Dirundung Malang (novel), diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka tahun 1929. Edisi ke-10 dicetak oleh Dian Rakyat tahun 1989
2) Dian yang Tak Kunjung Padam (novel) diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1932
Edisi ke-10 dicetak oleh Dian Rakyat tahun 1989
3) Layar Terkembang (novel) diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1937. Edisi ke-20 dicetak oleh Balai Pustaka tahun 1990
4) Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel) diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1940. Edisi ke-10 dicetak oleh Dian Rakyat tahun 1989
5) Tebaran Mega (kumpulan puisi) diterbitkan oleh Pustaka Rakyat tahun 1935 dan dicetak ulang tahun 1963
6) Puisi Lama (kumpulan dan komentar tentang puisi Indonesia Klasik) diterbitkan Dian Rakyat tahun 1946. Edisi ke-6 dicetak oleh Dian Rakyat tahun 1975
7) Puisi Baru (kumpulan dan komentar tentang puisi Indonesia modern) diterbitkan oleh Dian Rakyat, Jakarta, tahun 1946. Edisi ke-7 dicetak oleh Dian Rakyat tahun 1975
8) Grotta Azzura, Kisah Cinta dan Cita (novel) diterbitkan oleh Dian Rakyat tahun 1970. Edisi ketiga oleh Dian Rakyat tahun 1990
9) Kalah dan Menang (novel) tahun 1978
10) Lagu Pemacu Ombak (kumpulan puisi) tahun 1978
Organisasi profesi internasional yang diikuti oleh STA:
1) Committee of Directors of the International Federation of Philosophical Societies di Brussel (1954-1959)
2) Societe de Linguistique du Paris (1951-1994)
3) World Futures Studies Federation, Roma (1974-1994)
4) Koninklijk Institute voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV) Belanda (1976-1994)
Prestasi yang pernah dicapai STA:
1) Tercatat sebagai ketua Akademi Jakarta yang pertama
2) Mendapat anugerah dari Kaisar Jepang The Order of Sacred Treasure, Gold and Scheer untuk karyanya Kalah dan Menang.
Artikel "Analisis Nilai Moral dalam Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana"
Meneliti Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, berikut adalah nilai-nilai moral dalam novel Layar Terkembang:
a. Nilai Moral Hubungan Manusia dengan Tuhan
1. Mempertanyakan tentang agama
“Agama yang serupa itu, masakah ia akan dapat menarik pemuda-pemuda yang belum merasakan kecemasan akan mati, yang masih penuh harapan menghadapi hidup?” [halaman 35].
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Tuti mempetanyakan tentang Tuhan kepada keluarganya. Tuti sangat mengutamakan kajiannya dan keilmuannya sehingga ia tidak gampang percaya dengan pendapat orang lain.
2. Bertakwa kepada tuhan
“Ya, Bapak sekarang rajin benar mempelajari agama,” [halaman 35].
“Yang maha kuasa menetapkan sesuatu yang tiada dapat dielakkan. Maria sakit, sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit di Pacet” [halaman 200].
Kutipan tersebut menjukkan bahwa tokoh bapak sangatlah rajin beribadah dan selalu mempelajari hal-hal agama.
b. Nilai Moral Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
1. Semangat
“Aduh, indah benar.” Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, [halaman 4].
“Tiap-tiap perkataan yang diucapkan dengan penuh kegembiraan, penuh semangat, meresap kepada segala yang hadir.” [halaman 42].
Rasa antusias Maria ditunjukkan melalui kutipan novel ini. Maria selalu bersemangat dan mudah terkagum-kagum dengan apapun yang baru saja dia saksikan, sehingga ekspresi dan tindakannya cenderung dilebih-lebihkan.
2. Jujur, Mudah Kagum, Mudah Memuji, Memuja, dan Mudah Tersenyum
“Maria seseorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Sebelum selesai benar ia berpikir, ucapannya yang bergelora, baik waktu kegirangan maupun waktu kedukaan. Air mata dan gelak berselisih di mukanya sebagai siang dan malam. Sebentar ia iba semesra-mesranya dan sebentar berderau gelanya yang segar oleh kegirangan hatinya yang remaja” [halaman 5].
Kutipan ini mencontohkan integritas Maria. Maria bertindak secara moral. Dia memiliki kecenderungan untuk menangis jika merasa sedih, tetapi wajahnya berseri-seri dengan seringai lebar dan tawa menular setiap kali dia bahagia. Maria adalah karakter lugas yang mudah terkesan. Perasaan lebih penting baginya daripada pemikiran rasional, dan dia tidak akan bertindak dengan cara yang bertentangan dengan perasaannya yang sebenarnya.
3. Tidak Mudah Kagum
“Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafan akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap serta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya. Jarang benar ia hendak lombar-melombar, turut menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai dengan kata hatinya.” [halaman 5].
Berbeda dengan Maria, Tuti tidak mudah terkagum-kagum dengan hal-hal baru, sebagaimana kutipan di atas.
4. Sikap Toleransi
“Kedua belah pihak berdaya upaya memaklumi dan menghargai masing-masing. Tuti berdaya berusaha sedapat-dapatnya menggantikan kedudukan dan pekerjaan bundayanya dan menyesuaikannya dengan hatinya dan meskipun hal itu tidak dapat dalam segala hal, dalam hidup bersama-sama.” [halaman 4].
Toleransi Tuti dapat ditunjukkan dalam kutipan novel ini. Dia mencoba yang terbaik untuk menghargai dan memahami saudara perempuannya meskipun sikap dan perilakunya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Melihat bagaimana dia adalah kakak Maria, dia berusaha untuk memahami perspektif adiknya. Kehilangan ibunya sangat berat baginya. Karena itu, Tuti berusaha untuk bertanggung jawab terhadap adik perempuannya.
5. Sikap Disiplin
“Segala sesuatu terlangsung pada waktu yang tepat, sebab Tuti adalah orang yang teliti akan waktu.” [halaman 26].
Komentar tersebut menunjukkan bahwa Tuti adalah orang yang sangat teratur dan tepat waktu. Akibatnya, Tuti sangat memperhatikan bagaimana dia menghabiskan waktunya. Dia bukan tipe orang yang membuang-buang waktunya untuk hal-hal sepele. Tindakannya selalu didasarkan pada penalaran yang cermat dan pemikiran yang dipertimbangkan dengan baik. Dia adalah tipe orang yang berhati-hati sebelum mengambil tindakan apa pun. Sebagai aturan, Tuti memikirkan semuanya dengan saksama sebelum mengambil tindakan apa pun.
c. Nilai Moral Hubungan Manusia dengan Manusia
1. Sangat Mencintai Maria
“Saya sendiri yang akan menjaga kekasihku. Sejak dari sekarang saya akan mempelajari
penyakit TBC sedalam-dalamnya. Sebab kekasihku harus saya sembuhkan sendiri” [halaman 80].
Tokoh Yusuf sangat menyayangi dan mencintai Maria dengan menjukkan bahwa ia akan akan mempelajari secara mendalam tentang penyakit TBC lebih mendalam.
2. Sangat Menyayangi Yusuf
“Bundanya yang belum puas bercampur dengan anaknya yang tunggal itu, membantah dan mencoba menahan yusuf. Melihat bundanya bersungguh-sungguh benar menahannya, lemahlah hati Yusuf sehingga diturutkannya kehendak bundanya menunda keberangkatanya beberapa hari.” [halaman 63].
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ibu Yusuf sangat menyayangi Yusuf dengan membuktikan menahan keberangkatan Yusuf sepenuh hati sehingga membuat Yusuf luluh dengan kasih sayang ibunya.
3. Selalu Menyemangati dan Menghibur Maria
“Maria mengapa engkau menangis? Mengapa...? Ah jangan kau turutkan hatimu. Engkau mesti girang, selalu girang, supaya lekas sembuh. Ayo duduk mari kita bermain
dam berdua ....”amat girang bunyi perkataan juru rawat itu, membangkitkan kegembiraan.” [halaman 162].
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa sahabat Maria selalu menghibur dan menyayangi maria dengan sepenuh hati, tidak membuat Maria sedih.
4. Kasih Sayang dan Perhatian Seorang Ayah pada Anaknya
“Memaksa anaknya itu menurut kehendaknya itu tiada sampai hatinya, sebab sayangnya kepada Tuti dan Maria” [halaman 12].
Kutipan tersebut menjukkan bahwa tokoh ayah sangat menyayangi kedua putrinya. Ia selalu mengerti kemauan anaknya tanpa memaksakan apa keinginanya.
Sumber:
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sutan_Takdir_Alisjahbana | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Khaliki, H., Putri, B. I., & Khasanah, U. (2023). Analisis Nilai Moral Dalam Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana. Jurnal Ilmiah SEMANTIKA, 4(02), 44-50.
Khaliki, H., Putri, B. I., & Khasanah, U. (2023). Analisis Nilai Moral Dalam Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana. Jurnal Ilmiah SEMANTIKA, 4(02), 44-50.
Komentar
Posting Komentar